Obat selalu berfungsi layaknya dua sisi mata uang. Dengan dosis yang tepat, obat bisa menyembuhkan penyakit yang diderita. Namun jika dosis terlalu besar atau kecil, manfaat bisa terganti mudharat.
Hal inilah yang terjadi pada obat batuk dextrometorfan (DMP). Dengan dosis 10-15 miligram sekali minum, DMP bisa berfungsi sebagai antitusif atau pereda batuk. Namun dengan efek samping yang ditimbulkannya, DMP juga kerap disalahgunakan sebagian masyarakat sebagai obat terlarang atau narkoba.
Menurut Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik dan NAPZA Badan POM RI, Retno Tyas Utami, DMP merupakan jenis obat batuk yang dijual bebas di pasaran (OTC). DMP tersedia dalam bentuk tunggal maupun kombinasi.
Dalam bentuk tunggal, DMP tersedia dalam tablet kecil berwarna kuning. Untuk DMP dalam bentuk kombinasi, biasanya digabungkan dengan pengencer dahak, pereda demam dan nyeri, atau relaksasi otot.
"DMP bekerja langsung pada susunan saraf pusat, dengan menaikkan ambang reflek batuk," kata Retno pada acara media gathering di kantor Badan POM Jakarta Selasa (1/10/2013).
Dalam sediaan tunggal, lanjut Retno, DMP dapat diperoleh dengan harga yang sangat murah. Hal inilah yang kemudian menyebabkan masyarakat menyalahgunakan DMP sebagai pengganti ekstasi yang relatif lebih mahal.
Konsumsi DMP dengan dosis 100 miligram dapat menyebabkan seseorang berhalusinasi. Pengguna juga mengalami euforia, kehilangan perpektif visual, dan berkeringat dingin.
Konsumsi DMP dalam dosis berlebihan secara terus menerus akan menyebabkan kerusakan susunan saraf pusat. Kerusakan permanen ini akan menyebabkan seseorang sulit berkata-kata, berhitung, dan tidak tanggap.
"Padahal sebagian pengguna DMP adalah pelajar. Akibatnya mereka tidak mampu lagi bersekolah dan menjadi langganan psikiater, serta harus mengkonsumsi obat seumur hidup," kata Retno.
Yang patut diwaspadai, penggunaan DMP terus menerus secara perlahan akan meningkatkan dosis pemakaian. Konsumsi hingga 200 miligram dapat menyebabkan kematian.
Kematian dikarenakan kerusakan susunan saraf pusat, yang menyebabkan terhentinya sinyal ke paru. Kondisi ini ditandai kesulitan bernafas, mata berputar (nistagmus), mulut berbusa dan berliur.
DMP yang memiliki nama kimia d-3-metoksi-N-metilmorfinan ini, kata Retno, sebenarnya memiliki efek toksin yang rendah.
"Karena itu, gunakanlah obat sesuai petunjuk pemakaian yang tertera. Untuk mencegah penggunaan DMP sebagai obat teler, generasi muda harus memperoleh penetahuan sejak dini dan terus mendapat pengawasan masyarakat," kata Retno.
Sumber : kompas.com