FITOFARMAKA
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi.
Jenis sediaan obat ini masih belum begitu populer di kalangan masyarakat, dibandingkan jamu-jamuan dan herba terstandar. Akan tetapi pada dasarnya sediaan fitofarmaka mirip dengan sediaan jamu-jamuan karena juga berasal dari bahan-bahan alami. Dalam ilmu pengobatan, fitofarmaka dapat diartikan sebagai sediaan jamu-jamuan yang telah tersentuh oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan demikian khasiat dan penggunaan fitofarmaka dapat lebih dipercaya dan efektif daripada sediaan jamu-jamuan biasa, karena telah memiliki dasar ilmiah yang jelas.
Walaupun sama-sama diracik dari bahan alami, namun Fitofarmaka jauh mengungguli sediaan jamu biasa, bahkan sediaan ini juga sudah dapat disetarakan dengan obat-obatan modern. Ini disebabkan fitofarmaka telah melewati beberapa proses yang setara dengan obat-obatan modern, diantaranya Fitofarmaka telah melewati standarisasi mutu, baik dalam proses pembuatan hingga pengemasan produk, sehingga dapat digunakan sesuai dengan dosis yang efektif dan tepat. Selain itu sediaan fitofarmaka juga telah melewati beragam pengujian yaitu uji preklinis seperti uji toksisitas, uji efektivitas, dll dengan menggunakan hewan percobaan dan pengujian klinis yang dilakukan terhadap manusia.
Fitofarmaka harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya :
a. Aman dan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
b. Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik
c. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi
d. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
Tahap-tahap pengembangan dan pengujian fitofarmaka (Dep. Kes RI)
1. Tahap seleksi
Proses pemilihan jenis bahan alam yang akan diteliti sesuai dengan skala prioritas sebagai berikut:
· Jenis obat alami yang diharapkan berkhasiat untuk penyakit-penyakit utama
· Jenis obat alamai yang memberikan khasiat dan kemanfaatan berdasar pengalaman pemakaian empiris sebelumnya
· Jenis OA yang diperkirakan dapat sebagai alternative pengobatan untuk penyakit-penyakit yang belum ada atau masih belum jelas pengobatannya.
2. Tahap biological screening, untuk menyaring:
· Ada/ tidaknya efek farmakologi calon fitofarmaka yang mengarah ke khasiat terapetik (pra klinik in vivo)
· Ada/ tidaknya efek keracunan akut (single dose), spectrum toksisitas jika ada, dan sistem organ yang mana yang paling peka terhadap efek keracunan tersebut (pra klinik, in vivo)
3. Tahap penelitian farmakodinamik
· Untuk melihat pengaruh calon fitofarmaka terhadap masing-masing sistem biologis organ tubuh
· Pra klinik, in vivo dan in vitro,
· Tahap ini dipersyaratkan mutlak, hanya jika diperlukan saja untuk mengetahui mekanisme kerja yang lebih rinci dari calon fitofarmaka.
4. Tahap pengujian toksisitas lanjut (multiple doses)
· Toksisitas ubkronis
· Toksisitas akut
· Toksisitas khas/ khusus
5. Tahap pengembangan sediaan (formulasi)
· Mengetahui bentuk-bentuk sediaan yang memenuhi syarat mutu, keamanan, dan estetika untuk pemakaian pada manusia.
· Tata laksana teknologi farmasi dalam rangka uji klinik
o Teknologi farmasi tahap awal
o Pembakuan (standarisasi): simplisia, ekstrak , sediaan OA
o Parameter standar mutu: bahan baku OA, ekstrak, sediaan OA
6. Tahap uji klinik pada manusia
Ada 4 fase yaitu:
- Fase 1 : dilakukan pada sukarelawan sehat
- Fase 2 : dilakukan pada kelompok pasien terbatas
- Fase 3 : dilakukan pada pasien dengan jmlh yang lebih besar dari fase 2
· Fase 4: post marketing survailence, untuk melihat kemungkinan efek samping yang tidak terkendali saat uji pra klinik maupun saat uji klinik fase 1-3.
Beberapa contoh fitofarmaka, yang beredar di indonesia diantaranya :
Note: Untuk dapat disebut Fitofamaka, obat tersebut harus melalui uji klinik yang diawali dari uji pre-klinik, uji klinik fase I (20-50 orang), fase II (200-300 orang) some trials combine Phase I and Phase II, and test both efficacy and toxicity. Kemudian fase III (300–3.000 orang), fase 4 disebut juga post marketing surveillance.